Ki Suda Mustahil Akan Punah!

Oleh MIRA R.G. WIRANATAKUSUMAH

SEJAK Desember lalu (2004 -Santri Kodok), berbagai bencana alam mengguncang Indonesia, tsunami di Aceh, gempa di Papua, Lombok, Nias, sampai beberapa peringatan akan ancaman kehidupan masyarakat di Jawa Barat. Semua wargi Jawa Barat harus bersiap-siap dengan bencana alam yang diramalkan kelak menerjang lemah cai kita, oleh karena sang Tangkuban Parahu berada pada posisi siaga. Tak dapat dipungkiri dan tak perlu hasil penelitian, berita tersebut amat sangat yakin membuat semua masyarakat yang berada di tatar Sunda merasa keueung dan khawatir akan keselamatan hidupnya sambil tidak tahu apa yang harus dipersiapkan dan dilakukannya.

Akan tetapi, sebelum bencana tersebut terasa mengguncang, tiba-tiba saja berita di “PR” tanggal 13 April 2005 menyuguhkan letupan informasi yang membuat seluruh rasa ini berdegup kencang. Kang Dedi “Miing” Gumelar mengeluarkan diktum bahwa Ki Sunda berada pada ambang kepunahan. Ancaman bencana apakah ini? Kang Dedi Gumelar saha anjeun teh? Paranormalkah atau seorang analis dan pemikir atas hasil penelitian bertahun-tahun tentang Ki Sunda?

Seorang pemerhati kasundaan-kah atau sekadar personal yang memiliki kepedulian terhadap nasib kasundaan yang secara kebetulan saja kemarin menjadi bagian penting dalam pembangunan gedung budaya Miss Tjitjih? Adakah mengalir tetesan darah Sunda dalam tubuh Akang? Ataukah Akang spesialis komentator bertarif pada forum-forum dialog dan undangan-undangan launching saja? Saya harap Kang Miing bukan termasuk pada klasifikasi yang terakhir. Karena, saya yakin pernyataan tersebut Kang Miing lontarkan ketika Kang Miing baru saja ngeh tentang Sunda.

Andaikan saja Kang Miing sebelum menyatakan “prediksi”-nya di depan publik belajar terlebih dahulu tentang bahasa Sunda atau sekadar mencari tahu wacana-wacana dan kegiatan-kegiatan apa saja yang sedang dirancang serta dilaksanakan dalam memperjuangkan Ki Sunda? Mulai dari forum riungan warga sambil ngampar di warung Bandung atau pun ghirah kasundaan yang sering digelar di hotel-hotel mewah dan lembaga-lembaga penelitian untuk memikirkan dan menyusun kebijakan secara aktif dalam upaya membangkitkan dan memelihara budaya Sunda, maka seyakin-yakinnya Kang Miing akan menyatakan keprihatinan dan kepeduliannya dengan bahasa lain yang lebih apresiatif dan optimis.

Saya tidak yakin apakah Kang Dedi Gumelar itu orang Sunda atau bukan. Karena, jarang sekali saya mendengar Kang Miing menggunakan bahasa Sunda ketika manggung, yang kerap terdengar malah dialek kental Betawinya. Katanya, Dedi Gumelar itu berasal dari Banten, jadi pasti orang sunda. Padahal, dalam sosialisasinya tentang budaya Unesco menyatakan, bahwa salah satu upaya pemeliharaan budaya adalah dengan menggunakan bahasa ibu selama mungkin. Nah, kalau bahasa saja tidak pernah dipakai apalagi dihayati, padahal bahasa menunjukkan jati dirinya, mengungkap asal-usulnya serta mengekspresikan lahir batinnya, maka ungkapan Kang Miing itu sebenarnya mewakili kediriannya yang mana? Sebagai orang Sunda atau orang Jakarta?

Kapan pun dan siapa pun dia yang telah mampu membuat diktum bahwa Ki Sunda berada di ambang kepunahan, maka tak ayal lagi ia adalah orang yang sangat mumpuni serta telah khatam dengan kasundaannya sebagai syarat kemestian bertanggung jawab atas apa yang diucapkan. Maka, ketika pernyataan tersebut dilontarkan di depan publik, semestinya ia telah menguasai analisis hasil informasi lengkap dengan data-data kelemahan yang dimiliki Ki Sunda menuju kehancurannya tentunya.

Dalam pandangannya, mungkin sudah tidak ada lagi potensi dan peluang-peluang yang dimiliki Ki Sunda untuk menuju kebangkitannya. Baginya, Ki Sunda tidak memberikan kontribusi yang berarti di saat-saat Indonesia mengalami good days and bad days. Yang ia perhatikan hanyalah sisi gelap serta ancaman bagi Ki Sunda tanpa menunjukkan bukti-bukti jelas apa saja yang telah diperjuangkan sebagai ekspresi kepeduliannya bagi kasundaan. Jadi, kalau tidak ada bukti? Ya sama juga masih berputar dari tataran wacana ke wacana.

Jika seorang Ki Sunda telah menggenggam ruh Sunda, tentunya dia tidak akan berbicara di depan umum tanpa membawa data-data atau indikator kepunahan tetapi ia akan menunjukkan upaya-upaya apa saja yang sudah dia lakukan untuk menjaga hilangnya budaya. Dia tidak akan memberikan penilaiannya tentang kepunahan Ki Sunda cukup dengan menggunakan parameter dari tiadanya “Warung Bajigur” atau maraknya outlet di Bandung. Benarkah keprihatinan tentang populernya kaus ketat dibandingkan kebaya yang dikenakan mojang priangan adalah salah satu indikator kepunahan Ki Sunda? Mudah-mudahan keprihatinan tersebut tidak diungkapkan oleh Ki Sunda-Ki Sunda lainnya sembari menikmati benar lezatnya chicken cordon blue, atau sukiyaki dan segarnya fruit punch atau ice cappucino di Cafi Resto.

Ruh kasundaan akan merasuk dan digenggam hanya bagi jiwa-jiwa Sunda yang memiliki kanyaah, katineung atau kareueus. Lalu dia usik dan mengamalkannya melalui penghayatan nilai-nilai filosofis Sunda yang berakar dari nilai-nilai agama demi kemaslahatan Sunda, baik melalui niat, ucapan dan perbuatannya. Seorang Ki Sunda yang telah dihinggapi ruh Sunda, tidak akan tega melisankan “Ki Sunda Berada di Ambang Kepunahan” meskipun dia sedang berkiprah dalam membangun gedung budaya Miss Tjitjih.

Syahwahnya akan selalu hidup dan terus memperjuangkan kasundaan hingga mencapai maqom tertentu seperti spiritnya Prabu Siliwangi yang selalu bersemayam dan bergemuruh dalam batin Ki Sunda. Pada saat seperti apa pun, ia akan sangat berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu, karena ia menghayati betul nilai Sunda yang mengatakan, ulah sok saucap-ucapna bisi jadi matak. Dalam nilai agama Islam, ucapanmu adalah doamu. Atau orang Barat bilang, you are what you said, so watch your mouth!

Memang, tak dapat dinafikan, entah sejak kapan Ki Sunda memosisikan dirinya untuk tidak silau pada jabatan atau tidak mengutamakan pada hal-hal yang bersifat fisik, meskipun mungkin pernyataan ini tidak mustahil untuk diperdebatkan. Ki Sunda menanamkan dan menjalankan nilai-nilainya lebih bersifat pada kekayaan batin, mengutamakan nilai-nilai luhung, nulung kanu butuh nalang kanu susah. Penghormatan Ki Sunda pada sesamanya lebih memprioritaskan pada martabat dan fitrah manusia melalui kesederhanaan serta kemashlahatan abadi. Ia mampu memberi dan melakukan sesuatu tanpa diminta, tidak memamerkan diri atau adigung bahkan mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri.

Ki Sunda merasa dirinya wajib memuliakan guru, sufi, wal, dunungan dari sisi keilmuan yang dimilikinya bukan melihat peran kepemimpinannya untuk kepentingan pribadi dan sesaat. Need for achievement Ki Sunda bukan untuk meraih dan merebut tampuk pimpinan, tetapi ia lebih memprioritaskan energi nilai-nilai yang diperolehnya agar bisa menjalar dalam aliran darah di tubuh Ki Sunda hingga menyengat mamaras-nya. Karena itulah, untuk merasakan dan memahami Ki Sunda kudu dirampa ku batin Ki Sunda.

Ketika seorang Sunda memiliki ilmu, ia akan bergairah untuk mentransformasikan nilai-nilai tersebut pada siapa pun tanpa ada batas garis kuning. Kegairahan ini mengakibatkan Ki Sunda mampu melahirkan pemimpin bangsa, guru besar dan dosen teladan, pengusaha kaya, ulama kondang serta seniman ternama. Punahkah Ki Sunda? Tentu saja tidak! Karena sangat boleh jadi kebahagiaan batin Ki Sunda telah mencapai titik kulminasi dengan melahirkan produk dari hasil didikannya. Ia tak pernah pusing dengan simbol-simbol, karena produk Ki Sunda hanya bisa dirasakan secara batiniah. Jadi produk fisik selalu luput dan tidak pernah menjadi prioritas.

Meski kenyataan, memang sampai hari ini belum ada satu Ki Sunda pun yang mau memperhatikan sisi fisik atau menggubah penampilan luar agar Ki Sunda tampil menonjol sekaligus mampu meredakan kegelisahan eksistensi Ki Sunda. Benar sekali, kita tidak pernah menemukan welcome signs wilujeng sumping sebagai label kasundaan di lemah cai na — untuk menunjukkan jati dirinya. Bahkan ketika membangun gedung budaya Sunda pun tak terasa ruh Sundanya. Mengapa bukan Gedung Budaya Bi Tjitjih tetapi malah Miss Tjitjih? Ini sama artinya dengan Ki Sunda membangun fisik tetapi tidak memiliki ruh, maka dari itu sulit menjelmakannya menjadi simbol manusia Sunda. Ki Sunda dibangun dengan fondasi spiritual dan itu tidak akan pernah berhenti sampai kapan pun. Kalau bentuk fisik menjadi urgen untuk menggaungkan eksistensi Ki Sunda, ya sudah siapa pun pasti setuju bangun sajalah fisik tersebut! Kan tidak susah sebenarnya, tinggal aya kadaek, prak!

Tapi, siapa pun tak bisa memungkiri popularitas Ki Sunda meski tanpa fisik, toh bangsa mana pun mengenal spirit of Bandung. Akui saja secara jujur bahwa Ki Sunda mendidik banyak anak manusia sarat dengan nilai-nilai luhur. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut harus diaplikasikan bukan disimpan dalam kaca etalase nilai-nilai kasundaan. Siapa yang tidak mengakui semangat pencerahan-penyadaran-pemberdayaan yang diperjuangkan Dewi Sartika? Lepaskah butir-butir Dasasila Bandung sebagai beungkeutan negara-negara selatan yang dirajut Ki Sunda?

Tak terasakah karisma dan aura Kodam Siliwangi yang menembus jagat? Berhentikah alunan dan denting Cianjuran atau Nur Hidayahan? Surutkah ketegaran dan daya juang media informasi Sunda-Mangle untuk mengembuskan napas kasundaannya walau tidak pernah mendapatkan apresiasi pemerintah dan termarjinalkan tabloid-tabloid pop? Tidak! Karena mereka telah menggenggam spirit Sunda yang basisnya terdapat dalam nilai-nilai agama Islam. Seandainya nilai-nilai agama sudah tidak ditegakkan oleh Ki Sunda, maka itu tak pelak lagi, pasti punah Kang, lebur!

Kang Miing, bangun dan ciumlah bau kopi spirit Ki Sunda! Ki Sunda teh berada pada ambang kelahiran kembali bukan di ambang kepunahan. Pada saat Kang Miing ngabodor Ki Sunda terancam punah, justru kini Ki Sunda baik itu dari jajaran Sundanesse stakeholders ataupun yang sekadar memiliki kepedulian terhadap kasundaan sedang serius melakukan perubahan demi membangun kekuatan dan menegakkan paradigma baru.

Sebagai ilustrasi, sejak tahun 2000, mahasiswa Sunda dari 30 perguruan tinggi di Lampung, Bali dan Jawa yang berjumlah 1.000 mahasiswa tergabung dalam Fokalismas (Forum Komunikasi Lingkung Seni Mahasiswa Sunda) sudah melakukan gerakan counter culture atau antisipasi mencegah kepunahan budaya dengan melakukan penelitian dan pergelaran-pergelaran sampai ke Eropa dan Peru Amerika bagian selatan. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan setahun sekali, diserahkan Fokalismas ke Dinas Budaya dan Pariwisata untuk dievaluasi dan ditindaklanjuti. Kegiatan komunitas jajaka Sunda itu dalam rangka melaksanakan peraturan daerah tentang memelihara bahasa, budaya, dan aksara. Yeuh Kang, Ki Sunda teh nuju usik. Bukankah the imposible takes a while? Saya sangat yakin sekali, bahwa untuk meraih apa pun perlu proses, mangga perhatoskeun sing atos-atos geura!

Semua yang terjadi itu ada masanya. Jika kita berharap siang akan datang padahal malam hari masih panjang, lalu apakah kita akan membenci bintang karena mengharap mentari segera bersinar terang? Membangun Ki Sunda diperlukan bekal kesabaran, pemikiran dan sugesti-sugesti positif, motivasi kuat, optimisme dan strategi pemikiran yang matang dalam meraih perubahan ke arah kemajuan. Hapunten, ancaman yang ditakutkan Kang Miing tidak menyentuh mamaras Ki Sunda yang sedang bergerak maju, yang jiwa dan raganya telah diikat oleh roh Sunda yang tiada pernah akan mati bahkan punah. Cag!***(Penulis, anggota Presidium Rukun Wargi Tatar Sunda dan Ketua Yayasan Indonesia Masa Depan. Pikiran Rakyat, 25 Mei 2005)

Lanjutan:
DHIPA GALUH PURBA: Ki Sunda Justru Telah Punah Lebih Awal
H. RACHMAT M.A.S.: Ki Sunda, Siapa Dikau dan Bagaimana Keadaanmu?
DHIPA GALUH PURBA: Nasib Ki Sunda dan Kematian Kucing [Suplemen]