Sunda Tak Perlu Dibela

Oleh WAWAN GUNAWAN

SILANGSENGKETA antarpakar kasundaan sudah ada sejak dulu. Kita banyak belajar dari hal seperti itu. Kalau toh penulis mencoba menulis tentang Sunda, itu tidak terlepas karena penulis ‘dijerumuskan’ oleh Kang Us Tiarsa (Galura), Kang Karno (Mangle), Kang Setia Permana dan Kang Ikin Sodikin (UNPAS) serta Kang Roza Mintaredja, lebih dari lima tahun yang lalu. Ketika saya aktif menulis untuk Kompas, secara khusus Kang Us Tiarsa menganggap saya belum lulus menjadi penulis. Alasannya, saya belum pernah menulis dalam bahasa Sunda padahal saya urang Sunda.

Akhirnya saya belajar menulis dalam bahasa Sunda, khususnya di Galura dan Mangle. Pada pemikiran penulis, dalam konteks silangsengketa soal Sunda, ada indikasi kuat bahwa ngabela Sunda pada akhirnya bergeser maknanya menjadi ngabela persepsi dan kepentingan. Karena Sunda dipersepsikan seperti A maka ada kepentingan untuk membela A, begitu seterusnya. Jadi yang dibela bukan Sunda, sekali lagi. Gara-gara masing-masing pihak mempunyai pamendak, jadilah silangsengketa itu. Padahal, siapapun paham bahwa pamendak (penemuan) itu tidak untuk dipaksakan, hanya untuk dijelaskan. Karena itu, tak perlu kebakaran jenggot kalau ada yang tidak setuju dengan pamendak kita.

Santai sajalah. Karena kita merasa sedang membela Sunda, akhirnya merasa diri paling Sunda. Padahal, di atas langit ada langit, di atas yang 70 persen pasti ada yang 90 persen, dan seterusnya. Karena unsur kepentingan (kepentingan gengsi akademis, gengsi senioritas, bahkan demi proyek, dll) maka kita sering menjadi kehilangan orientasi. Seperti orang buta ketika disuruh mendefinisikan apa itu gajah. Masing-masing bersitegang dengan penemuannya. Begitu juga dengan manusia Sunda yang selama ini mengaku diri sebagai pembela Sunda. Pada kenyataannya, manusia yang mengaku membela Sunda seringkali justru ia yang mencederai Sunda itu sendiri. Bukan Sunda yang utuh tapi Sunda yang intepretatif.

Sama sekali tidak ada urgensinya membela Sunda sebab Sunda memang tidak butuh pembela. Manusia yang tekad ucap lampahna mengusung nilai-nilai Sunda pasti akan keberatan disebut pembela Sunda. Etnis (bahkan nilai tradisi) Sunda tidak berbeda dengan etnis lain. Apalagi kalau kita memposisikan diri sebagai anak bumi, bukan anak suku atau anak bangsa. Silangsengketa itu sebetulnya tidak perlu ada. Kalau kemudian suku atau etnis lain terlihat lebih bisa mengaktualisasikan dirinya di berbagai dimensi kehidupan, sebenarnya bukan lantaran mereka membela suku atau etnisnya.

Mereka sedang dan telah mengaktualisasikan nilai-tradisi yang berlaku pada komunitas etnisnya. Kalau legislator di Provinsi Jawa Barat tidak didominasi oleh urang Sunda, maka selaku urang Sunda tidak ada gunanya mengumpat atau menuduh telah ada konspirasi menjajah Sunda. Agak aneh bahkan janggal kedengarannya apabila masyarakat Sunda masih nyanghareup ka poe kamari nonggongan poe isuk (istilah penulis dalam salah satu kolom di Mangle). Tapi apa hendak di kata, memang demikianlah realitas sosiologisnya. Tara ngencar jadi we teu motekar.

Urang Sunda masih banyak yang agul ku carita jaman ka tukang. Hidup pakia-kia dan pagirang-girang tampian, memang masih kental dalam kenyataan hidup masyarakat Sunda (apalagi di kalangan yang disebut tokoh Sunda). Di mata saya, setidaknya hingga kini, belum menemukan sosok Ki Sunda sebagai tuturkeuneun (panutan mumpuni). Yang penulis temukan adalah Ki Sunda sebagai tanyaeun (tempat untuk bertanya). Bertanya apapun kepada mereka yang mengaku diri ‘representasi’ Ki Sunda memang bisa. Mau bertanya politik, ekonomi, sejarah, budaya, ada ‘tempatnya’.

Soal tuturkeuneun, barangkali urang Sunda lebih suka nuturkeun indung suku. Akibatnya, watak individualistik demikian kental mewarnai beberapa tokoh Sunda. Seperi alergi untuk paheuyeuk-heuyeuk leungeun pa antay-antay tangan. Kalau kemudian ada yang percaya dengan paradigma tri tangtu (rama-resi-ratu) maka masing-masing berdiri pada thesisnya sendiri. Ketiganya (rama-resi-ratu). Masing-masing pihak tidak pernah rido galih untuk membuat sebuah sinthesis. Sekali lagi, Sunda tidak perlu dibela karenanya tidak butuh para pembela.

Yang dibutuhkan adalah sikap tulus mulang tarima ka Sunda. Selama ini, wilayah Sunda sudah demikian banyak berkontribusi kepada setiap urang Sunda, tanahnya dipijak, airnya diminum, kekayaan alamnya kita gunakan (sebagian besar malah dirampok oleh orang Sunda sendiri). Kemudian, kita bersama-sama ngageuing diri untuk babalik pikir untuk sasieureun sabeunyeureun mulang tarima ka lemahsarakan. Tihothat teh mesti dalam rangka mulang tarima, bukan silangsengketa!. Tanpa dibela, karena mereka sadar akan kehuluran budanyanya, maka suku Jawa, Batak, Padang, dan suku lainnya, berhasil memperlihatkan keunggulannya, baik di dunia politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Nah, di mana Sunda?

Sunda mah nyangkerok di tiap sorondoy kehidupan berbangsa dan bernegara. Indivisualisme primitif justru yang banyak terekspresikan oleh tokoh-tokoh Sunda (akademisi, politisi, pengusaha, dll). Kesadaran mewujudkan mimpi bersama sebagai sebuah etnis yang jumlah masyarakatnya terbesar di negara ini, belum juga muncul secara permanen dan komprehensif. Kalau Sunda terpinggirkan maka persoalannya adalah salah sendiri mengapa mau dipinggirkan? Kalau Sunda dimarjinalkan, salah sendiri mengapa diam saja dimarjinalkan?

Kalau Sunda tidak berdaya, salah sendiri mengapa tidak memiliki daya? Kalau banyak dari urang Sunda yang senang bernostalgia ke masa lalu, reueus akan kejayaan Sunda di masa silam, maka inilah salah satu kesalahan terbesar. Sejarah itu multi-interpretasi. Sejarah bukan Tuhan yang haram dikultuskan. Kalau ada catatan sejarah yang menyatakan bahwa Sunda di masa lalu demikian jaya-perkasa, boleh jadi benar adanya. Tapi itu masa lalu. Kalau kemudian banyak pihak ribut berkehendak membuat Sunda hari esok lebih baik, ini juga tidak terlalu salah. Tapi yang penting adalah HARI INI! Sunda saat ini! Quo vadis Sunda detik ini? Siapa pun pasti sepakat bahwa nilai-tradisi Sunda amat layak diimplementasikan.

Cara mengimplementasikan nilai-nilai universal Sunda sangat berbeda dengan membela Sunda. Akhiri saja pemikiran membela Sunda. Pemikiran seperti ini sangat usang dan tidak produktif. Mulailah dari diri secara bersama-sama, silih asih-asah-asuh dengan sebuah kesadaran bahwa setiap urang Sunda adalah anak bumi. Dalam teori keseimbangan, apabila Sunda selama ini dianggap ‘banyak kelebihannya’, maka sesungguhnya ini berbanding lurus dengan ‘banyak kekurangan’ yang bersemayam pada urang Sunda.

Mengakui saja tidaklah cukup, tapi harus ada kemauan dan kesungguhan untuk memperbaikinya. Dengan demikian, harus ada kemauan besar dan kesungguhan yang konsisten dan konsekuen dari setiap anasir Sunda untuk mengubah paradigma, dari membela Sunda menjadi mulangtarima ku rasa rumasa. Merasa diri telah ditakdirkan menjadi urang Sunda, hidup di wilayah Sunda, berusaha di wilayah Sunda, dst. Oleh karenanya sangat wajar dan bijaksana bila ada rasa rumasa untuk mulangtarima ka lemah cai, Sunda.*** (Wawan Gunawan, dosen STMIK Jabar; peneliti senior pada Prolitera Literary Agent. Republika, 11 Agustus 2004)

Lanjutan:
Deden Suhendar: Membela Sunda Vs Membela Kebenaran
Roza R. Mintaredja: Catan Kritis Untuk “Sunda Tak Perlu Dibela”
Kania Wahyu: Menjadikan Sunda Sebagai Pusat Kecenderungan
Agus Kresna: Syariat Sunda; Sebuah Keniscayaan Di Jawa Barat
Gunawan Undang: Ki Sunda; Di Triangulasi ‘Asah-Asih-Asuh’ Kita Bertemu
Abidin Aslich: Jawa Barat Tak Cuma Sunda